Tak Berkategori

A. 5.1

Kisah Nabi Ibrahim as. Mencari Tuhan

Nabi Ibrahim as. adalah putra Azar. Ia dilahirkan di wilayah Kerajaan Babylonia
yang saat itu diperintah oleh Raja Namrud. Namrud adalah raja yang sangat sombong
yang mengaku dirinya adalah Tuhan. Raja Namrud juga dikenal sangat kejam kepada
siapa saja yang menentang kekuasaannya.
Suatu saat ia bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia melihat seorang anak lakilaki yang memasuki kamarnya kemudian mengambil mahkotanya. Maka, ia pun
memanggil tukang ramal yang sangat terkenal untuk mengartikan mimpinya
tersebut. Tukang ramal mengartikan bahwa anak yang hadir dalam mimpinya
tersebut kelak akan meruntuhkan kerajaannya. Mendengar hal tersebut, Namrud
murka. Diperintahkannya kepada seluruh tentara kerajaan agar membunuh setiap
bayi laki-laki yang dilahirkan.
Azar yang istrinya saat itu sedang mengandung bayi yang kelak adalah Ibrahim
begitu khawatir akan keselamatan bayi yang dikandung istrinya tersebut. Ia khawatir
bahwa bayi yang ada dalam perut istrinya adalah seorang bayi laki-laki yang selama
ini ia idam-idamkan. Maka, untuk menyelamatkan calon bayinya tersebut, diam- diam ia mengajak istrinya ke dalam sebuah gua yang jauh dari keramaian. Di gua
itulah kemudian bayi Ibrahim dilahirkan. Agar tidak diketahui oleh khalayak ramai,
Azar dan istrinya meninggalkan Ibrahim yang masih bayi di dalam gua dan sesekali
datang untuk melihat keadaannya. Hal itu terus dilakukukan hingga Ibrahim menjadi
anak kecil yang tumbuh sehat dan kuat atas izin Allah Swt. Bagaimana Ibrahim dapat
hidup di dalam gua, padahal tidak ada makanan dan minuman yang diberikan?
Jawabannya karena Allah Swt. menganugerahkan Ibrahim untuk menghisap jari
tangannya yang dari situ keluarlah air susu yang sangat baik. Itulah mukjizat pertama
yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as.

Lama hidup di dalam gua tentu membuat Ibrahim sangat terbatas pengetahuannya
tentang alam sekitar. Maka, di saat terdapat kesempatan untuk keluar dari gua,
Ibrahim pun melakukannya. Betapa terkejutnya ia, ternyata alam di luar gua begitu
luas dan indah. Di dalam ketakjubannya itu, Ibrahim berpikir bahwa alam yang luas
dan indah berikut isinya termasuk manusia, pasti ada yang menciptakannya. Maka,
Nabi Ibrahim berjalan untuk mencari Tuhan. Ia mengamati lingkungan sekelilingnya.
Namun, ia tidak menemukan sesuatu yang membuatnya kagum dan merasa harus
dijadikan Tuhannya.
Di siang hari, Ibrahim melihat cerahnya matahari menyinari bumi. Ia berpikir,
mungkin matahari adalah tuhan yang ia cari. Tetapi ketika senja datang dan matahari
tenggelam di ufuknya, gugurlah keyakinan Ibrahim akan matahari sebagai tuhan.
Sampai akhirnya, malam pun datang menjelang. Bintang di langit bermunculan
dengan indahnya. Sinarnya berkelap-kelip membuat suasana malam menjadi
lebih indah dan cerah. “Apakah ini Tuhan yang aku cari?” Kata Ibrahim dengan
gembira. Ditatapnya bintang-bintang itu dengan penuh rasa bangga. Tapi ternyata,
ketika malam beranjak pagi, bintang-bintang itu pun beranjak satu per satu.
Dengan pandangan kecewa, Nabi Ibrahim melihat satu per satu bintang-bintang
itu menghilang. “Aku tidak menyukai Tuhan yang bisa menghilang dan tenggelam
karena waktu,” gumamnya dengan perasaan kecewa.
Nabi Ibrahim pun mencoba mencari Tuhan yang lain. Memasuki malam berikutnya,
bulan pun muncul dan bersinar memancarkan cahayanya yang keemasan. Ia pun
menduga, “Inikah Tuhan yang aku cari?” Maka, ketika pagi datang menjelang, bulan
pun hilang tanpa alasan. Seperti halnya terhadap matahari dan bintang, Ibrahim
pun memastikan bahwa bukanlah matahari, bintang, dan bulan yang menjadi Tuhan
untuk disembah, tetapi pasti ada satu kekuatan Yang Mahaperkasa dan Mahaagung
yang menggerakkan dan menghidupkan semua yang ada. Ibrahim pun menyimpulkan
bahwa Tuhan tidak lain adalah Allah Swt.
Ketika keyakinan Nabi Ibrahim as. kepada Allah Swt. betul-betul merasuki
jiwanya, mulailah ia mengajak orang-orang di sekitarnya untuk meninggalkan
penyembahan terhadap berhala yang tiada memiliki kekuatan apa pun. Dan tidak
pula memberi manfaat. Orang pertama yang ia ajak untuk hanya menyembah Allah
Swt. adalah Azar, ayahnya yang berprofesi sebagai pembuat patung untuk disembah.

Mendengar ajakan Ibrahim, Azar marah karena apa yang dilakukannya semata-mata apa yang sudah dilakukan oleh nenek moyangnya dahulu. Azar meminta Ibrahim
untuk tidak menghina dan melecehkan berhala yang seharusnya ia sembah. “Wahai
saudaraku! Patung-patung itu hanyalah buatan manusia yang tidak dapat bergerak
dan tidak memberi manfaat sedikitpun. Mengapa kalian sembah dengan memohon
kepadanya?” Demikian ajakan Ibrahim kepada umatnya. Akan tetapi, kaumnya
tidak mau mendengarkan dan mengikuti ajakan Nabi Ibrahim as., bahkan mereka
mencemooh dan memaki Ibrahim.
Menyadari bahwa ajakannya untuk menyembah hanya kepada Allah Swt. tidak
mendapatkan respons dari umatnya, Nabi Ibrahim as. mengatur cara bagaimana
melakukan dakwah secara cerdas dan lebih efektif. Maka, tatkala seluruh penduduk
negeri termasuk Raja Namrud pergi untuk berburu, Nabi Ibrahim masuk ke dalam
kuil penyembahan berhala kemudian menghancurkan semua berhala yang ada
dengan sebuah kapak besar yang telah disiapkan. Semua berhala hancur kecuali
berhala yang paling besar yang ia sisakan. Pada berhala besar itu, ia gantungkan
kapak di lehernya.

Sekembalinya dari perburuan, semua penduduk negeri termasuk Namrud,
terkejut luar biasa. Mereka dengan sangat marah mencari tahu siapa yang berani
melakukan perbuatan tersebut. Mengetahui bahwa Ibrahimlah satu-satunya lelaki
yang tidak ikut serta dalam perburuan, Raja memerintahkan semua tentara untuk
memanggil dan menangkap Ibrahim untuk dihadapkan kepada dirinya. Sesampainya
di hadapan Raja Namrud, Ibrahim berdiri dengan tegak dan penuh percaya diri.
“Hai Ibrahim, apakah kamu yang menghancurkan berhala-berhala itu?” tanya
Raja Namrud.
“Tidak, saya tidak melakukannya,” jawab Ibrahim as.
“Jangan mengelak, wahai Ibrahim, bukankah kamu satu-satunya orang yang
berada di negeri saat semuanya pergi berburu?” sergah Raja Namrud.
“Sekali lagi tidak! Bukan aku yang melakukannya, tapi berhala besar itu yang
melakukannya,” jawab Ibrahim as. dengan tenang.
Mendengar pernyataan Nabi Ibrahim, Raja Namrud marah seraya berkata, “Mana
mungkin berhala yang tidak dapat bergerak engkau tuduh sebagai penghancur
berhala lainnya?”
Mendengar pertanyaan Raja Namrud, Ibrahim as. tersenyum kemudian berkata,
“Sekarang Anda tahu dan Anda yang mengatakannya sendiri bahwa berhala-berhala
itu tidak dapat bergerak dan memberikan bantuan apa-apa. Lalu, mengapa Anda
sembah ia?”
Mendengar jawaban Ibrahim as. yang tidak disangka-sangka, Namrud sebetulnya
menyadari hal tersebut. Namun, karena kebodohan dan kesombongannya, ia tetap
saja tidak memedulikan argumentasi Ibrahim as. Ia kemudian memerintahkan
semua tentaranya untuk membakar Ibrahim hidup-hidup sebagai hukuman atas
perlakuannya kepada berhala-berhala yang mereka sembah.

Setelah semua persiapan untuk membakar Ibrahim as. telah lengkap,
dilemparkanlah ia ke dalam api yang berkobar sangat besar dan panas. Apa yang
terjadi kemudian? Allah Swt. menunjukkan kemahakuasaan-Nya dengan meminta
api agar dingin untuk menyelamatkan Ibrahim as. Maka, api pun dingin sehingga
tidak sedikit pun Ibrahim as. terluka karenanya. Itulah mu’jizat terbesar yang diterima
oleh Nabi Ibrahim, yaitu tidak terluka saat dibakar dengan api yang sangat panas.

Back to top button